Kedaulatan negara atas sumberdaya alam adalah harga mati untuk NKRI berdasarkan amanat pasal 33 UUD 1945. Makna yang terkandung dalam pasal ini menyatakan bahwa negara haruslah melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Sejarah menunjukkan bahwa dari zaman ke zaman, Indonesia terus melakukan penyempurnaan dalam meningkatkan kedaulatan atas sumberdaya alamnya. Penerbitan UU No.4 tahun 2009 yang menggantikan UU No.11 tahun 1967 telah mengubah paradigma sistem pengelolaan pertambangan di negeri ini. Terlepas dari segala perdebatan tentang sistem pengelolaan pertambangan dan berbagai masalah yang timbul, UU ini telah membawa beberapa pokok pemikiran maju untuk bangsa ini. Semangat hilirisasi untuk nilai tambah melalui kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang terkandung dalam pasal 102, 103 dan 170 UU ini adalah salah satu pokok pemikiran terpenting dari UU No.4 tahun 2009 yang perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Hilirisasi pertambangan adalah bagian dari proses industrialisasi. Industrialisasi mendorong proses transformasi dari suatu negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya alamnya menjadi negara mandiri dari sisi ekonomi untuk kemakmuran rakyat. Keberhasilan industrialisasi dalam negeri tidak dapat terjadi hanya dengan topangan hilirisasi sektor pertambangan, namun juga haruslah didukung oleh pembangunan industri yang lebih hilir atau industri manufaktur dalam negeri yang akan menghasilkan produk akhir untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam menuju ke arah industrialisasi tersebut, keberhasilan hilirisasi pertambangan itu sendiri sangat ditentukan oleh kebijakan dan peraturan teknis dalam implementasinya dengan mempertimbangkan penyediaan bahan baku, lahan, tenaga kerja, energi, infrastruktur, teknologi, kegiatan operasional dan pemeliharaan, sistem perizinan dan kegiatan pembiayaan investasi.
Melalui Permen ESDM No.1 tahun 2014 yang diturunkan dari PP No.1 tahun 2014, pemerintah mengatur jenis komoditas yang wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri, termasuk izin penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu dan pada batasan minimum pengolahan hingga 12 Januari 2017. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan hilirisasi belum dapat terealisasi secara menyeluruh di Indonesia karena kesulitan pembiayaan investasi hingga miliaran US$ yang sangat bergantung pada jenis komoditas, kondisi infrastruktur pendukung dan kapasitas smelter yang akan dibangun di tengah penurunan harga komoditas dan jangka waktu pengembalian investasi relatif sangat lama, hingga lebih dari 20 tahun. Harga komoditas yang sedang melemah dalam lima tahun terakhir, seperti nikel dari kisaran 9US$/lb (2011) menjadi 5US$/lb (2015) menjadikan daya tarik investasi di bisnis pengolahan menjadi cenderung semakin rendah. Lalu, bagaimana negara dapat mendorong realisasi pembangunan smelter dan kebijakan apa yang sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menghadapi 2017?
Dalam menghadapi peralihan regulasi pada awal 2017, pemerintah perlu mempertimbangkan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan insentif ekspor sementara di tahun 2017 serta meninjau kembali kebijakan hilirisasi dan insentif lainnya. Satu hal yang juga perlu diketahui bahwa apapun keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi 12 Januari 2017, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh pelaku industri pertambangan swasta, tetapi juga oleh negara sendiri melalui badan usahanya. Manfaat kebijakan ekspor sementara dapat dipelajari melalui kasus ANTAM sebagai salah satu BUMN yang tengah menyelesaikan proyek-proyek hilirisasi. Dengan demikian, ANTAM mengharapkan kebijakan insentif dari pemerintah untuk dapat mengekspor bijih nikel kadar rendah.
Di saat yang bersamaan, keputusan pemerintah Filipina untuk menghentikan produksi tambang 8 perusahaan nikel akibat masalah lingkungan pada akhir September 2016 lalu, akan berdampak langsung pada pasokan nikel di pasar global, terutama industri NPI di China yang menjadi bahan baku stainless steel. Kondisi demikian dapat memberikan celah kepada Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar menggunakan stok nikel kadar rendah yang selama ini hanya menjadi waste penambangan dengan tetap menjaga kestabilan harga nikel dunia. Dengan demikian, Indonesia memiliki posisi tawar dalam rantai pasok untuk industri NPI China, baik dengan menawarkan China melakukan investasi di Indonesia untuk memasok kebutuhan NPI negara mereka atau memasok kebutuhan bahan baku pabrik – pabrik NPI di China langsung. Keterbatasan teknologi selama ini menjadi masalah terhentinya pemanfaatan bijih nikel berkadar rendah, juga pada akhirnya dapat diantisipasi melalui diversifikasi dengan program research and development (RnD) dengan melakukan alokasi pendanaan dari hasil penjualan bijih keluar negeri dengan sistem pembagian 80% untuk pendanaan hilirasasi feronikel yang sedang berjalan dan 20% untuk RnD program hilirisasi berikutnya untuk bijih berkadar rendah atau skenario lain yang disesuaikan.
Dengan meninjau peluang dan tantangan melalui contoh kasus komoditas nikel ini, apabila pemerintah mempertimbangkan untuk mengambil keputusan tidak memberikan ekspor sementara, maka pemerintah perlu menyiapkan berbagai skenario pendukung agar amanat hilirisasi tetap terlaksana. Skenario yang mungkin bisa disiapkan pemerintah dapat berupa dukungan pembangunan infrastruktur, terutama pembangkit energi, lahan smelter, insentif bea masuk dan perpajakan untuk jangka waktu tertentu, kepastian hukum terhadap jangka waktu produksi tambang sebagai jaminan bahan baku smelter serta hal – hal lain yang realistis untuk mendukung industri dalam merealisasikan hilirisasi menuju industrialisasi.
Sebaliknya apabila hal – hal tersebut tidak memungkinkan dilaksanakan dalam waktu yang singkat dan pemerintah memilih untuk memberikan ekspor sementara, maka pemerintah tetap perlu memperhatikan beberapa catatan untuk tetap menjamin terlaksananya hilirisasi. Skenario yang terintegrasi dengan melibatkan pelaku industri, dapat menolong pemerintah dalam menyusun dan menentukan kebijakan hilirisasi nasional. Pertama, pemerintah perlu memperhatikan proses hilirisasi sebagai suatu rantai industrialisasi yang saling terkait yang juga harus difasilitasi untuk mempercepat kemajuannya melalui beragam mekanisme, misalnya dukungan pembiayaan, infrastruktur dan penentuan kebijakan. Kedua, pemerintah perlu melakukan analisis komprehensif terhadap konstalasi rantai pasok global setiap komoditas yang sifatnya unik. Pemerintah dapat mendefinisikan peran industri pertambangan Indonesia dalam pasar global dan menemukan peluang baru untuk pasar kepentingan pertumbuhan industri dalam negeri melalui hasil analisis tersebut. Sebagai contoh komoditas nikel kadar rendah yang selama ini menjadi waste, tetapi masih bernilai ekonomi di pasar ekspor dapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP) baru bagi pemerintah. Ketiga, pemerintah perlu memperhatikan kepentingan konservasi bahan galian dengan menyeluruh untuk menghasilkan pengoptimalan terbaik bahan galian yang ditambang atau diolah dan tetap memasok kebutuhan pada masa mendatang. Keempat, pemerintah perlu mengupayakan kemandirian teknologi untuk mendukung hilirisasi yang dapat didorong melalui suatu kebijakan alokasi pendapatan untuk RnD menuju percepatan hilirisasi itu sendiri. Kelima, pemerintah perlu bijaksana dalam menentukan aspek waktu untuk implementasi kebijakan dalam industri pertambangan. Pertimbangan yang terintegrasi dan disesuaikan dengan kebutuhan harus dilaksanakan sebelum menentukan jangka waktu tertentu karena tiap tahapan usaha pertambangan membutuhkan waktu yang berbeda. Poin terakhir adalah pemerintah harus mampu memenuhi rasa keadilan dan persamaan kedudukan industri di mata hukum dengan tetap mengoptimalkan manfaat dari pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah dapat melakukannya dengan mendefinisikan beberapa kriteria utama berdasarkan karakteristik unik setiap komoditas untuk menentukan kebijakan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Dengan kerangka kebijakan yang berlandaskan pemikiran yang terintegrasi dan komprehensif, hilirisasi pertambangan menuju industrialisasi untuk mencapai manfaat sebesar – besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai sesuai dengan amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Lebih jauh lagi, Indonesia akan mampu menjadi negara yang mandiri dari sisi ekonomi dan teknologi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaan alamnya secara berdaulat untuk menjadi negara maju di dunia di antaranya dengan terwujudnya pembangunan industri logam dasar nasional.