Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, terdapat duaundang-undang yang dikenal luas oleh masyarakat sebagai acuan pengelolaan industry pertambangan yakni UU 11 Tahun 1967 dan UU. 4 Tahun 2009. Kedua undang-undang tersebut memiliki sistem penggolongan bahan galian yang berbeda satu sama lain. Mari kita lihat keduanya.
Berdasarkan Pasal 3 UU No. 11 Tahun 1967 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian, bahan galian dibagi menjadi golongan bahan galian strategis, bahan galian vital, dan bahan galian tidak termasuk golongan strategis maupun vital. Dalam penjelasan PP No. 27 Tahun 1980, penggolongan bahan galian didasarkan pada
- nilai strategis/ekonomis bahan galian terhadap negara;
- terdapatnya sesuatu bahan galian dalam alam (genesa);
- penggunaan bahan galian bagi industri;
- pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat banyak;
- pemberian kesempatan pengembangan pengusahaan; dan
- penyebaran pembangunan di daerah.
Bahan galian strategis atau bahan galian A merupakan bahan galian untuk kepentingan pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara. Dalam Pasal 1 huruf a, bahan galian strategis digolongkan menjadi enam kelas, yaitu
- minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam;
- bitumen padat, aspal;
- antrasit, batubara, batubara muda;
- uranium, radium, thorium dan bahan-bahan galian radioaktif lainnya;
- nikel, kobal; dan
Bahan galian vital merupakan bahan galian yang dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Bahan galian vital ini juga sering kali disebut sebagai bahan galian B. Dalam Pasal 1 huruf b, bahan galian vital digolongkan menjadi delapan kelas, yaitu
- besi, mangan, molybdenum, khrom, wolfram, vanadium, titanium;
- bauksit, tembaga, timbal, seng;
- emas, platina, perak, air raksa, intan;
- arsin, antimony, bismuth;
- yttrium, rtutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya;
- beryllium, korundum, zirkon, kristal kwarsa;
- kriolit, fluorspar, barit; dan
- yodium, brom, klor, belerang
Bahan galian yang tidak termasuk galian strategis maupun vital atau lazimnya disebut sebagai bahan galian C merupakan bahan galian yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasar yang bersifat internasional. Dalam pasal 1 huruf c, golongan bahan galian ini dibagi menjadi sembilan kelas, yaitu
- nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu (halite);
- asbes, talk, mika, grafit, magnesit;
- yarosit, leusit, tawas (alum), oker;
- batu permata, batu setengah permata;
- pasir kuarsa, kaolin, feldspar, gips, bensit;
- batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth);
- marmer, batu tulis;
- batu kapur, dolomit, kalsit;
- granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A maupun golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2009 dengan sederhana mengatur golongan bahan galian ke dalam kelompok usaha pertambangan di Indonesia hanya untuk pertambangan mineral dan batubara (ayat 1). Pertambangan mineral yang dimaksud dalam UU adalah mineral radioaktif, mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan (ayat 2).
Seharusnya kita menggolongkan bahan galian berdasarkan nilai dan fungsi strategisnya terhadap negara, yang diklasifikasikan menjadi tiga grup sebagai berikut.
- Grup Strategis. Mineral di dalam grup ini memiliki peran dalam keamanan dan ketahanan negara, seperti uranium, thorium, radium, radioaktif lainnya, dan logam tanah jarang (rare earth minerals).
- Grup Vital. Mineral dalam grup ini berperan sebagai penggerak utama ekonomi dan pengembangan industri dalam negeri, serta komoditas yang dapat mendorong pendapatan devisa negara, yaitu batubara, nikel, timah, besi, titanium, bauksit, tembaga, emas, berlian, dan lainnya.
- Grup Non-Strategis dan Non-Vital. Bahan galian dalam grup ini umumnya dapat langsung bernilai uang (monetary value) sehingga sangat berpotensi meningkatkan devisa bagi negara, seperti fosfat, granit, andesit, basal, pasir, marmer, dan lainnya.
Meskipun tampak serupa dengan klasifikasi yang disampaikan dalam UU No. 11 Tahun 1967, klasifikasi di atas cenderung lebih bersifat dinamis. Suatu mineral yang berada dalam satu grup dapat berubah masuk ke dalam grup lainnya bergantung pada perubahan peran bahan galian tersebut terhadap negara dari waktu ke waktu. Sebagai contoh adalah batubara yang masuk dalam grup vital dapat menjadi bahan galian grup strategis. Indonesia memiliki volume cadangan batubara yang tinggi dan berpotensi untuk diubah menjadi devisa negara sehingga batubara diklasifikasikan menjadi grup vital. Akan tetapi, pada waktu tertentu pembangkit tenaga listrik tenaga uap (PLTU) di seluruh Indonesia akan membutuhkan pasokan batubara yang sangat besar. Apabila pada saat yang sama sumber daya batubara juga mengalami kelangkaan (resources scarcity), batubara akan menjadi bahan galian grup strategis.
Oleh karena itu cerminan penggolongan bahan galian dalam UU 4, Tahun 2009 dapat dikatakan belum mendudukkan pertambangan sebagai sektor strategis untuk kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai sisi manfaat seperti pertahanan negara, ketahanan energy dan pemerataan pembangunan, melainkan sebagai komoditas perdagangan yang hanya mendatangkan devisa penerimaan pajak dan PNBP saja bagi negara. Hal ini tentunya perlu dipertimbangkan untuk disempurnakan kembali, tidak juga hanya mengacu pada definisi penggolongan bahan galian dalam UU 11, Tahun 1967, tetapi lebih jauh daripada itu, mempertimbangkan dinamika masa depan negara ini.